“Sari, ini ada yang menjenguk kamu”
“Siapa mah?”
“Tuh liat siapa..”
“Ihsaaaaan..”
“Halo Sari”
“Tumben kamu jenguk aku”
“Iya, soalnya aku khawatir, kamu selama ini susah dihubungi,
dan ternyata, kamu malah kaya gini”
“Kamu gak usah khawatir san, aku bentar lagi juga gak akan
ada disini lagi”
“Hehehe, oh iya, ini ada sesuatu buat kamu, katanya kamu
suka bunga mawar, jadi aku bawa buat kamu, nihh”
“Waaaah, bunga yang cantik, makasih ya san, kamu tau aja
deh”
“Kamu kenapa san, kok kaya yang sedih gitu”
“Ahhh gapapa, gapapa”
Aku tiba-tiba jadi sedih melihat Sari seperti ini, padahal
dia senyum seperti baik-baik saja. Tapi aku merasa, Sari itu tengah kesakitan,
dan ia menahan rasa sakit itu dengan senyuman nya. Aku hampir tak bisa menahan
air mataku..
“Ihsaan, kok kamu nangis? Kamu kenapa?”
“Gapapa kok ini Cuma kelilipan aja”
“Ihsaaaan,,”
Dengan terbata-bata aku berkata karena aku tak bisa menahan
tangisan ini...
“Semoga cep et sem mbuh yah Sari, aku k kakange e e n”
“Iya san, doakan saja ya”
Besoknya, aku kembali menjenguk Sari, tak lupa juga
membawakannya bunga mawar. Hari demi hari aku lakukan seperti itu untuk
menjenguk Sari.
Suatu hari, aku mendapat kabar kalau Sari sebentar lagi akan
keluar dari Rumah Sakit. Aku langsung membungkuskan buket bunga yang cukup
besar, dengan macam-macam bunga mawar didalamnya. Ketika aku akan berangkat ke
Rumah Sakit, aku mendapat telfon dari ibuku...
“Assalamualaikum, ada apa bu?”
“Ihsan, kamu dimana san?”
“Aku lagi di kios bu, emang kenapa?”
“Itu ayah san ayah”
“Hah? Ayah kenapa bu?”
“Ayah kan lagi sakit, pas di toilet dia jatuh, sekarang ayah
gak sadarkan diri, ibu mau kamu kesini, bawa ayah ke rumah sakit”
“Ohh iya iya bu”
Tunggu dulu, aku kan mau menjenguk Sari, tapi kayanya ayah
lebih penting deh, tapi masa aku pulang sambil bawa bunga sih, apa aku ke sari
dulu yah? Eh enggak lah, kasian ibu disana.
Akhirnya aku memilih untuk menemui ayah terlebih dahulu, aku
pun langsung membawanya ke rumah sakit dengan taksi. Rumah Sakit nya berbeda,
tidak di rumah sakit dimana Sari dirawat. Sudah satu jam lamanya aku menunggu
ayah, dan ternyata ayah sadar, ia hanya terbentur kepalanya, dan pingsan,
tetapi ayah harus mendapat perawatan lebih lanjut.
Sesudah itu aku meminta izin kepada ibu dan ayah, karena ada
suatu urusan.
Sudah satu jam lebih aku terlambat, sesampainya disana...
Aku melihat Sari, dan ternyata ia sudah tidur, lalu mamah
Sari menghampiriku, dengan wajah yang sangat sedih...
“Eh nak Ihsan, mau jenguk Sari yah?”
“Iya tante, ini aku juga bawa bunga buat Sari”
“Simpan saja bunga itu disamping Sari”
“Baiklah”
“Sari sudah tidur tante?”
............................
“Tante kenapa nangis tante?”
“Sari”
“Iya sari kenapa tante?”
Pintu terbuka, terlihat dua orang perawat masuk ke ruang
Sari, dan perawat itu menutup seluruh badan Sari dengan kain kafan..
“Sari udah tidur untuk selama-lamanya”
“Innalillahiwainna ilaihi rajiun,,, Sariiiiiiiiiiiiiiiiii,
kapan tante kapaan?”
“Sekitar beberapa menit yang lalu sebelum kamu datang”
“Iya sempat beberapa kali menanyakan sama tante, apakah
Ihsan sudah datang? Apakah ihsan akan datang? Aku pengen ketemu Ihsan mah.. itu
adalah kata-kata terakhirnya"
Aku disana menangis seperti
anak kecil, karena aku tidak menyangka, aku tidak percaya, aku sangat tidak
percaya. Aku bahkan belum sempat mendengar suara terakhirnya, aku belum sempat
mendengar senyuman terakhirnya, aku belum sempat mengatakan sayang padanya, aku
hanya terlambat beberapa menit, seandainya waktu bisa diputar kembali.
Ternyata benar, hidup memang kejam, sekali sakit, itu sangat
menyakitkan, sekali sedih, itu sangat menyedihkan.
Sekarang hatiku terasa hampa, hampa sekali. Tak ada yang
mengisi hatiku lagi, aku tengah menanti orang yang akan mengisi hatiku yang
telah lama kosong, setelah ditinggal Misa, dan juga Sari.
Ayahku juga tidak bisa berjualan di kios bunga, karena sakit
yang ia derita ia tidak boleh berjalan jauh, ayah menemani ibu berjualan di
warungnya. Jadi, akulah yang harus menjaga kios bunga itu setiap hari, kadang
dua tiga hari aku buka di sore hari, karena kuliah.
Sudah dua tahun lamanya aku menjaga kios ini, sendiri,
kesepian. Aku sering berkhayal, kapankah aku bisa sukses, kapankah aku mendapat
pendamping yang baik, yang bisa menjadi makmumku. Tapi, apakah ada yang mau
denganku, yang hanya seorang penjual bunga.
Penghasilan dari menjual bungaku kali ini sedikit menurun,
karena aku sering tutup gara-gara sebentar lagi aku akan mengikuti sidang
skripsi, jadi aku harus fokus kesana. Aku menjaga kios sambil membaca-baca
materi kuliah, agar bisa mengerti penuh. Ketika aku tengah membaca, tiba-tiba
ada pelanggan.
“Oh iya permisi, mas tolong dong satu tangkai bunga mawar
merah yang paling cantik yah?”
Ada pelanggan, aku menyimpan buku sejenak...
“Iya mbak, ini silahkan mba”
“Iya makas... Ihsaan?!”
“Haaah?”
“Ihsan yah, ini aku Misa..”
“Haah Misa? Kamu udah pulang Misa?”
“Iya aku udah pulang, aku libur bentar nih dari kuliahan
hehe”
“Ohh gitu”
“Ihsan, kamu jadi jualan bunga?”
“Mmmm iya, ayahku sakit gak bisa jalan jauh, jadi aku yang harus
jaga kios deh..”
“Ohh kasihan sekali,, kamu lagi baca apa nih?”
“Lagi baca inii materi kuliahan, mau sidang..”
“Ohhh kamu kuliah? Waahh mau sidang lagi.. hebat hebat”
“Iyaa, dari hasil jual bunga inilah modal kuliah aku hehe”
“Heeee kamu hebat banget sih, udah bisa nanggung biaya
kuliah sendiri”
“Hehe yaa namanya juga usaha lah, dari pada gak ada gitu..
hahaha”
“Iya yah bener hahaha”
“Kamu kok berubah ya Mis, sampe-sampe aku sempet gak
inget...”
“Ohh iya tah? Perasaan enggak deh, kamu tuh yang berubah
san”
“Kameranya bagus, baru ya?”
“Ini? Enggak kok ini udah lama”
“Ohh kamu emang suka foto?”
“Iyaa, hobi aku emang suka foto-foto, dari SMA juga aku
suka”
“Tapi perasaan pas SMA kamu jarang foto-foto atau bawa
kamera gitu deh”
“Bukan jarang, tapi kamunya aja yang gak tau hahaha”
“iya yah, iya mungkin hehe”
“udah dulu ya san, aku ada urusan, nanti aku kesini lagi
ya... kangen aku belum abis hehe”
“Oke deh, aku tunggu”
Aku tidak menyangka akan bertemu lagi dengan Misa, wanita
yang pertama yang aku cinta, apakah ini yang dinamakan jodoh memang gak kemana,
halaaah ngawur aja nih. Tapi setelah melihat Misa, hatiku seperti terisi
kembali, kekosongan yang melandaku selama bertahun-tahun akhirnya terisi juga,
dengan orang yang sama. Keesokan harinya..
“Ihsaaan”
“Eh Misa, datang lagi”
“Iya sesuai janji aku kemaren, dan aku beli setangkai mawar
lagi”
“Oke deh siap, ini”
“Makasih, mulai sekarang aku mau jadi langganan kamu loh”
“Ohh gitu ya, hehe, kalau boleh nanya kamu beli bunga ini
buat siapa? Pacar ya?”
“Mmmm,, bukan”
“Buat siapa dong”
“Buat sahabat aku yang selalu baik, perhatian, dan bisa
mengerti aku”
“Siapa emang”
“Kamu juga kenal, dia adalah Sari”
“Sari? Tapi kan dia..”
“Aku juga udah tau, makanya ini pembalasanku untuknya,
karena aku pergi tanpa pamit kepadanya”
“Jadiii, kamu berikan mawar ini untuknya?”
“Iyaaa, Sari kan suka sekali dengan bunga mawar, akan
kusimpan ini diatas makamnya, sambil ku bacakan doa, agar selalu tenang
disisiNya”
Mendengar cerita Misa mengenai Sari, membuatku sedih
akan masa lalu...
“Kamu kenapa san? Kamu sedih ya? Kamu kangen sama Sari kan?”
“....”
Aku tidak bisa berkata-kata, mataku mulai mengeluarkan air
mata. Tiba-tiba, Misa menggenggam tanganku dan dia memelukku..
“Gak apa-apa san, aku juga sedih, aku juga kangen banget sama
Sari, tapi sudah kenyataannya seperti itu, jadi kita harus menerimanya”
“Iya Mis”
“Sudah san, jangan sedih lagi, kamu sedih membuat aku
semakin sedih”
“Iya aku gapapa kok, aku cuma teringat aja”
“Ya udah deh aku mau kesana dulu, kamu mau ikut gak san?”
“Aku gak ikut deh, aku takut sedih mengingat masa lalu itu”
“Ya udah deh, ihsaaaan!”
Jepret suara kamera Misa, dan ternyata Misa memoto aku yang
tengah sedih.
“Haduh Misa Misa”
Hari sudah mulai gelap, aku harus menutup kios. Ketika aku
akan pulang, Misa datang kepadaku.
“Ihsan, kamu udah tutup?”
“Eh Misa, iya soalnya sudah sore nih”
“Ohh gitu”
“Kamu ngapain kesini, masih kangen ya sama aku?”
“Ihhh kamu bisa aja, eh san kita jalan-jalan yuk, udah lama
kan kita gak jalan lagi”
“Mmmm boleh, iya udah lama banget”
Aku akhirnya memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar dengan
Misa, itung-itung ini melepas rinduku padanya, dan juga menenangkan otakku
juga. Hehehe
Sepanjang jalan, Misa memotret-motret hal yang menarik, ya
itu karena hobinya, jadi ya wajar saja.
“Misa?”
“Iya”
“Boleh nanya gak?”
“Kamu udah punya pacar?”
“Hah? Pacar?”
“Iya”
“Aku gak pacaran san”
“Ohh gitu, kenapa?”
“Mmmm gapapa, gak ada yang cocok san”
“Ohh gitu”
“Eh san kita makan yuk, tuh disana”
“Yuk yuk, kebetulan aku juga laper nih”
Aku dan Misa tiba di sebuah restoran, aku tadinya ragu-ragu
masuk restoran, karena biasanya itu mahal-mahal, tapi pas dilihat, uangku cukup
lah.
Bersambung.....
0 komentar:
Posting Komentar
Tolong berikan komentarnya kritik ataupun saran...